Tx

Minggu, 13 November 2011

Hasil Sementara Perolehan Medali Sea Games Indonesia 2011


Hasil Sementara Perolehan Medali Sea Games Indonesia 2011
update per (13-Nov-2011 10:44 WIB)

No. PeringkatNegaraEmasPerakPerungguTotal Medali
1Indonesia25 13639
2Singapura86820
3Thailand66718
4Vietnam56718
5Malaysia24612
6Filipina22610
7Myanmar 032 5
8Laos0033
9Brunei0000
10Kamboja000 0
11Timor Leste0000

Selasa, 25 Oktober 2011

Musikalisasi Puisi: Apa dan Bagaimana

Tengsoe Tjahjono

       Beberapa kali saya mengikuti kegiatan musikalisasi puisi, entah menjadi penonton/ penikmat, entah menjadi juri. Beberapa kali saya mengamati, banyak di antara para penyaji terjebak pada kegiatan teatrikalisasi/dramatisasi puisi. Hakikat musikalisasi adalah musik, berarti kesan auditif yang harus digarap, bukan justru terjebak pada penggarapan gerak, blocking, busana, dan sebagainya. Hal-hal yang berkaitan dengan gerak, blocking, busana, dan sebagainya itu hanyalah unsur penunjang, bukan unsur utama.
       
       Apakah musikalisasi itu? Ternyata batasan mengenai musikalisasi puisi melahirkan perdebatan panjang. Ada banyak perbedaan pendapat tentang musikalisasi puisi. Perbedaan itu misalnya saja: 
(a) bahwa dalam musikalisasi puisi tidak boleh ada aktivitas membaca puisi; jika ada pembacaan puisi di dalamnya, kegiatan tersebut bukanlah musikalisasi puisi, 
b) bahwa dalam musikalisasi puisi boleh saja terdapat kegiatan pembacaan puisi, sebab tidak semua baris atau frase dalam puisi bisa dimusikalisasikan, 
(c) bahwa membaca puisi dengan iringan alat musik bukanlah musikalisasi puisi, dan 
(d) bahwa membaca puisi dengan alat musik juga merupakan kegiatan musikalisasi puisi.
 
Bagaimana sesungguhnya musikalisasi puisi itu?
HAKIKAT MUSIKALISASI PUISI
 
       Ada dua hal esensial yang mesti kita cermati saat kita hendak mendefenisikan musikalisasi puisi, yaitu: 
(1) hakikat performansi puisi adalah pembacaan, dan 
(2) musik tidak sejajar dengan lagu.

Performansi Puisi adalah Pembacaan
     Setiap kali seorang penyair menulis puisi, yang ia bayangkan adalah bagaimana kelak jika puisi itu dibacakan, bukan untuk dinyanyikan. Oleh karena itu musikalisasi puisi pun harus berangkat dari ikhwal pembacaan ini.

     Pembacaan puisi itu sesungguhnya sudah sangat mengandung unsur musik karena puisi dicipta dengan memperhatikan faktor irama. Namun apa salahnya jika pembacaan puisi itu dipadukan dengan unsur nada dan melodi. Pembacaan puisi yang dipadukan dengan unsur tersebut dapat memperkuat suasana dan karakter puisi, memperjelas makna dan ikut membantu memperjelas amanat puisi tersebut. Untuk memperkuat puisi tidak harus pembaca puisi memaksakan bangunan utuh puisi tersebut menjadi lagu. Apalagi jika upaya tersebut justru dapat merusak dan menghancurkan totalitas puisi itu.
     
     Adakalanya intonasi, modulasi dan jeda dalam pembacaan puisi justru akan hancur manakala dilagukan. Intonasi, modulasi dan jeda itu hanya menemukan kekuatannya saat dibacakan. Dalam satu bait puisi boleh jadi seorang pembaca puisi akan secara berganti-ganti memakai tekanan dinamik, tempo, dan nada secara bergantian. Jika hal itu diubah ke dalam melodi, justru akan terasa monoton. Suasana kontemplatif, sugestif, dan afektif justru terkendala dengan birama misalnya saat dilagukan. Sedangkan tempo pada lagu terdapat pada satu konstruksi bait, yang ditentukan oleh kecepatan ketukan nada dalam tiap-tiap notasi. Bahkan pada keseluruhan lagu tersebut tempo sudah ditentukan lebih dahulu, misalnya dengan forte, piano forte, allegro, adagia dan sebagainya. 

     Irama pada lagu umumnya bersifat permanen dan telah ditentukan sebelumnya oleh pencipta lagu tersebut. Sedangkan irama, modulasi, dan jeda pada puisi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu suasana konkret puisi dan ditentukan oleh interpretasi masing-masing pembaca.

     Irama, modulasi, dan jeda adalah bagian dari kegiatan pembacaan puisi yang sulit untuk dilagukan. Jika pun dipaksa untuk dilagukan akan terjadi disharmoni irama lagu itu sendiri. Oleh karena itu, dalam kegiatan musikalisasi puisi, jika terdapat bait dan bagian-bagiannya yang memiliki karakter kuat untuk dibacakan, disarankan untuk tetap dibacakan, tidak perlu dilagukan. Untuk membangun kesan kuat cukup diberi dentingan piano, gesekan bola, atau sebagainya, pada bagian tersebut. Belum lagi jika kita harus memperhatikan enjambemen dan tipografi dalam puisi. 

     Enjambemen adalah pemenggalan baris dan hubungan antara baris. Pemenggalan baris ini pun memiliki makna tersendiri bagi penyair. Pembaca puisi adalah duta penyair untuk menyampaikan pesan kepada pendengar. Jika saat melagukan puisi persoalan enjambemen dirusak hanya untuk kepentingan melodi, tentu akan mengganggu pesan tersebut. 

    Dalam penulisan puisi, penyair selalu memperhatikan bentuk visual puisi, entah itu pemakaian huruf kapital atau huruf kecil, tanda baca, dan grafis penataan huruf-hurufnya. Segala hal yang menyangkut tipografi itu juga mengandung makna tertentu. Hal tersebut sulit untuk diwujudkan ke dalam partitur lagu.

    Pada dasarnya musikalisasi puisi jangan sampai merusak kodrat puisi. Puisi adalah puisi, dengan segala kekhasan yang dipunyainya. Musikalisasi puisi harus tetap mendudukkan puisi sebagai teks sastra, bukan hanya menjadi sebuah lirik lagu. Puisi pada hakikatnya ditulis sebagai teks sastra bukan sebagai teks lagu. 

    Banyak puisi yang memiliki kemungkinan kecil untuk dapat dilagukan. Artinya tidak semua puisi dapat dilagukan. Bahkan, boleh jadi dalam sebuah puisi, hanya beberapa bait saja yang dapat ditampilkan ke dalam tataan lagu.

Musik Tidak Sejajar dengan Lagu

     Terdapat pandangan salah kaprah mengenai musik. Kita sering menyamakan antara musik dan lagu. Musik antara lain dimaknai sebagai nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama yang harmoni. Merujuk pada pengertian tersebut jelas sekali dalam setiap puisi sudah mengandung unsur musik.
Sedangkan lagu (dari bahasa Arab; al laghwu) dimaksudkan sebagai teks yang dengan sengaja dan sadar dinotasikan dengan nada-nada tertentu dan dibentuk oleh melodi. 
      Dalam lagu memang terdapat unsur musik. Tetapi musik bukanlah lagu. Tanpa lagu pun sebuah konstruksi musik tetap dapat terbangun. Musik ada yang bernotasi, ada pula yang tidak bernotasi. Suara gemercik air hujan, debur angin, tiupan angin menyentuh dauh-daun, dan sebagainya merupakan contoh musik tanpa notasi. Kentongan yang ditabuh berkali-kali, lonceng gereja, bunyi bedug di masjid, dan sebagainya juga merupakan musik yang tanpa notasi.

      Dengan demikian musikalisasi puisi sebenarnya tidak berarti melagukan puisi. Musikalisasi puisi sejatinya upaya menguatkan potensi musik yang sudah ada dalam puisi itu, dengan menambahkan unsur musik yang lain, misalnya tangga nada, melodi, dan birama. Dengan catatan jika bait-bait tertentu memang sangat kuat ketika dibacakan, jangan dipaksa untuk dilagukan. 


LANGKAH-LANGKAH MUSIKALISASI PUISI

  1. Memilih Puisi
      Sudah disebutkan di atas bahwa tidak semua puisi dapat dimusikalisasikan. Puisi yang dapat dibacakan pada umumnya memiliki konstruksi bait yang relatif sama antara bait pertama, kedua, dan seterusnya. Di samping itu bagus sekali jika puisi yang dipilih adalah puisi yang memiliki pola persajakan yang relatif konsisten. Puisi-puisi lirik memang akan lebih bagus jika dimusikalisasikan.
 
Perhatikan contoh puisi berikut ini...

RUMAH SAKIT SIMPANG

Mendekatlah. Adakah yang masih tersisa
bila semuanya telah diruntuhkan
kenangan pun suatu saat akan musnah
dan kehidupan akan pucat tanpa masa silam
Tak ada yang kekal memang. Tak ada
Yang tiba dan yang pergi silih berganti
hari demi hari memanjang menjadi kenyataan
kehidupan memberikan sukaduka dan bahagia
Biarlah yang lampau tenggelam
catatlah apa saja yang kau perlukan
biarlah matahari tenggelam
menghapus lelah dan menyajikan impian
Kehidupan ialah estafet panjang
Kau harus menerima dan kemudian memberikan
Mendekatlah. Adakah yang masih tersisa
bila semuanya telah diruntuhkan
Tataplah. Wajah tua renta dan tak terawat
kini rata dengan tanah. Siapa pernah
terbaring di sana. Nanti ada
seorang anak membuka buku sejarah dan bertanya
Betapa asing kehidupan bila kenangan
telah kehilangan makna. Ia bukakan kelopak
semangat yang mendatang. Tapi pada malam dingin begini
siapa yang akan bicara. Siapa?
(Rudi Isbandi)

       Jika kita perhatikan sepintas puisi karya Rudi Isbandi di atas jumlah baris dalam setiap bait relatif sama, yaitu 4 baris. Pola persajakannya pun relatif sama yaitu a-a-a-a. Mengggarap musikalisasi di atas akan relatif lebih mudah.
Puisi di atas bersifat liris, sebuah ungkapan perasaan terhadap suatu hal. Sifat liris itu memiliki peluang besar untuk ditata ke dalam partitur, melodi, atau birama tertentu.


      2. Menyusun Partitur Musikalisasi Puisi

        Partitur musik adalah teks lagu yang berisikan puisi-puisi yang diaransemen ke dalam bentuk lembaran musik yang berupa melodi, irama/ritme, dan harmoni.
Sebelum menyusun partitur secara lengkap dan utuh, sebaiknya kita membaca puisi yang akan dimusikalisasikan secara cermat. Kita pilih bait-bait mana yang memiliki peluang untuk dinyanyikan dan bait-bait mana yang justru kuat ketika dibacakan.

        Bait terakhir puisi Rumah Sakit Simpang karya Rudi Isbandi di atas akan lebih baik dan kuat jika dibacakan, bukan dinyanyikan, sebab dalam bait tersebut terbaca jelas simpulan dan pesan puisi. Dalam bagian ini pembaca puisi akan lebih leluasa memberikan tekanan pada bagian-bagian baris yang dianggap mengandung pesan dan suasana kuat. Sedangkan bait-bait lain boleh atau berpeluang untuk dinyanyikan.
 
       Agar kita dapat menyusun partitur musikalisasi puisi secara tepat kita perlu menguasai unsur-unsur musik secara umum. Unsur-unsur musik yang dimaksud adalah : nada (suara dengan getaran tertentu), melodi (susunan nada dengan interval tetentu – kalimat lagu), irama(lembut, keras, agung, dan sebagainya – tempo/birama), harmoni (keselarasan dan kepaduan seluruh unsur pembangun musikalisasi), serta unsur pendukung lain seperti ekspresi (pelan.lembut, penuh semangat, dan sebagainya), dinamika (keras-lembut), serta bentuk lagu. 

      3. Menampilkan Musikalisasi Puisi
 
       Keberhasilan musikalisasi puisi terletak pada bagaimana unsur-unsur musik dalam puisi dapat disajikan secara maksimal. Artinya, musikalisasi puisi merupakan seni auditif, bukan seni visual. Keindahannya terletak pada kemampuan bunyi membangun imaji auditif dan estetik dalam diri pendengarnya.
 
      Maka, penampilan musikalisasi puisi tidak harus terjebak pada dramatisasi/teatrikalisasi puisi, yang lebih menonjolkan gerak daripada bunyi. Gerak boleh saja ditampilkan asal memberikan kontribusi terhadap lahirnya/ terciptanya bunyi musik dalam musikalisasi puisi. Gerak boleh saja ditampilkan musikalisasi puisi asal jangan sampai mengurangi fungsi bunyi demi musikalisasi puisi tersebut.

Sumber: http://www.dikbangkes-jatim.com/?p=1141

Minggu, 23 Oktober 2011

Merenung dan sedang memulai kiprah di Seminari St.Vincentius A Paulo

Oleh : Yohanes Budi Tri Novianto (Noven)

Seminari Garum, 16 september 2011
                  “Dok.. dok .. dok..’’ Itulah suara pintu yang gelisah. Aku masih kecil,dan aku masih    belum atu apa apa.Tiba-tiba kakak tertuaku masuk ke dalam rumah dengan wajah yang muram.Aku sempat tanya "kenapa ?", malah jawabnya ‘celuk’no mamak’., dan aku panggil saja ibuku.. (-,-‘). Setalah itu, aku mendengar dengan sengaja dan dengan penuh rasa penasaran perbincangan mereka. “Seminari’’. . “Seminari”.. “tidak ditrima?” .. apa maksudnya ya?? Aku di bingungkan dengan kata-kata itu, huh! Kalau tidak salah, dulu aku pernah melihat kakaku pernah pulang dengan mebawa tas yang penuh dengan pakaian, entah pulang dari mana, aku tidak tau. Dengan demikian aku sangat penasaran dengan ini. Apa sih sebenarnya “seminary” ?? kok kata itu keluar dari mulut kakaku dan membuatnya menjadi muram tak bergairah. Maklum lah, waktu itu aku masih kecil, kira-kira aku masih kelas 3 SD dan tidak tau apa-apa.
                       Aku adalah anak kecil yang nakal, sudah kelas 3 SD tapi masih di ambilkan makan dan di suapin juga, dan yang paling konyol lagi, aku masih di mandikan sa’at itu. Lalu naik ke kelas 4 SD, aku masih saja minta di mandikan, di suapi dsb. Heheheee.. dan yang paling parahnya, aku malas dengan pergi ke sekolah minggu ( perkumpulan BIAK) di stasiku.  Tapi, setelah naik kelas 4 SD aku sangat senang sekali, karena apa? Karena aku naik kelas. Ha, ya itu (gak lucu ya)hee. kelas 4 SD kenakalanku semakin parah, inilah puncak kenakalanku. Aku menganggap bahwa kalau sudah kelas 4 SD itu sudah dewasa, hingga aku telah bersikap bodoh. Dan, nih betapa sombongnya diriku. Kelas 4 SD adalah alasan untuk diriku bahwa aku harus gini, dan bertindak sesuai kemampuanku dan keinginanku. Nah, di kelas 4 ini, ada yang namanya penerima’an Sakramen Komuni Pertama. aku tidak tau apa itu Komuni Partama, ya pokoknya aku ikut ajah gitu pertemuanya’sebagai gengsi lah ( tapi waktu itu aku masih belum kenal dengan kata’’gengsi”) ha..ha..ha.
            Wah, dengan adanya pelatihan untuk menerima Sakramen Komuni Pertama ini, menyita waktu saya, saya tidak bisa bermain dengan teman-teman (jujur). Dan dengan di seringkan oleh pertemuan untuk pelatihan penerima’an komuni pertama ini, semakin lama aku semakin gimana gituh.. gimana yah??? Aku terasa makin dekat dengan Tuhan, karena di pertemuan tersebut, aku di ajarkan tentang berdoa, menghafal doa-doa yang ada di perayan Ekarisiti dan dsb. Tanpa mengira-ngira, semakin hari aku semakin aktif. Dan aku mulai berubah dikit-demi sedikit setelah itu, menjadi berbeda membuatku dikit menyadari panggilan. Karena Suster yang membimbingku waktu pelatihan Penerima’an Komuni Pertama, menceritakan sedikit cerita dengan di tambahkan unsur Romonya. Jadi tau deeeeeehhh.
            Tiba waktunya sa’at penerimaa’an Komuni Pertama , sa’at itu hatiku sangat berdebar-debar.Sebelum Penerima’an, entah kenapa aku menjadi senang mendengarkan kothbah, padahal dulu aku sangat malas sa’at mendengarka kothbah (bagi saya kothbah itu dulu adalah ocehan romo, hahaha….), kothbahnya pun sangat menarik perhatian, lucu, santai dan menyenangkan, serasa mendapat pencerahan hati dalam kesanta’ian. Hingga detik-detik sebelum penerima’an komuni pun berdentink…  Dan setelah Penerima’an komuni pertama sa’at yang sangat menggembirakaan adalah sa’at mencelupkan roti kedalam anggur, kaya ORE’O ajah…. Dan setalah itu, aku terkesan sombong dan berbicara keras pada teman yang di sampingku, dan bertanya-tanya dan sok tau aja.. haha
            Setelah berselang tidak lama, aku semakin aktif ke kegereja(walaupun masih rame) terus juga aktif dalam pertemuan BIAK. Nah, kembali pada kata “Seminary” yang di ucapkan kakakku tadi, ternyata…. Setalah aku bertanya-tanya dan melihat di papan pengumuman gereja dan SMP katolik depan gereja sa’at bermain, oooo seminari itu ternyata sekolah calon ROMO!!ehhhmm, tapi waktu itu aku masih belum paham. Ggggg.  Dan waktu sekolah minggu, sa’at itu kakak2 Pembina’’ BIAK di Setasiku bertanya-tanya tentang cita’’ kami para BIAK. Dan sa’at itu ada mbak yang bertanya gini “hayo!, siapa yang ingin menjadi romo???” tanpa pikir panjang dan secara sepontan aku menjawab “Aku mbak….. “hahaha, aneh sekali.. kok bisa yaaaaa? Gyhfhf9ioewhkdsiokfncd9ioehw@#$^^&**((
            Akhirnya,aku sekarang telah kelas 6 SD. Saat-saat yang sulit dalam menghadapi UNAS. Dan aku sudah merencanakan mau masuk Smpk Katolik. Lhaaa, sa’at sudah lulus dan pertama masuk Smp katolik, aku di bina secara rohani di sana(sedikit). Senang sekali rasanya.. Kelas satu, waktu itu sebelum masuk semester kan di tanyai cita”nya apa, lha itu.. panggilanku muncul untuk jujur bahwa cita”ku apa, aku mau mengatakan mau jadi romo tapi aku malu mengatakanya. Gak tau kenapa, huh.. Aku masuk anggota PAPS waktu kelas satu dulu, aku aktif dalam pelayanan sebagai misdinar juga.Telah banyak rekoleksi pada waktu itu aku ikuti, salah satunya rekoleksi di blitar dulu, senang sekali rasanya karena aku bisa bertemu para romo. Terus setelah itu, aku beranjak  kelas 3 smp. Nah, ada dua moment yang menguatkan panggilanku, pertama sa’at rekoleksi PAPS di paroki Gembala yang baik, Malang. Di sana saya berani mengemukakan sa’at Romo disana bertanya siapa yang terpanggil, dan saya menjawab “setalah lulus dari kelas 3 smp nanti, mau ke Seminary, ingin jadi imam”! Saya bangga dengan ucapan yang saya lontarkan tadi! Setelah itu ada satu rekoleksi yang membuat saya semakin terpanggil, masih sama, yaitu rekoleksi PAPS di wisma St. Yohanes Kediri. Dalam perjalan pertama ke sana, saya tampil dengan penampilan yang sangat formal, beda dengan teman-teman saya, yang memakai pakaian zaman sekarang (gaulah istilahnya) . saya sombong banget karena beda sendiri.hehhe. Lalu setelah tiba di sana, dan berselang beberapa season, akirnya pada season 3, yaitu season menjawab pertanyaan dari Romo Yose (sa’at masih jadi Fr diakon) pertanyaan adalah “kamu mau jadi apa setelah ini?” pokoknya gituh deh pertanya’anya, seingatku juga gitu, soalnya aku lupa. Lalu aku menjawab pertanya’an tadi dengan jawaban batinku! Yaitu “Aku ingin menjadi pria sejati”,, Lalu Rm. Yose bingung, maksudnya jadi pria sejati itu apa>>?? Lalu aku jelaskan,” Maksudnya gini Ter!”-“Saya ingin menjadi Pria Sejati dalam arti saya ingin menjadi Imam kelak!! Rm. Yose pertama meragukan jawaban saya, tapi lama-lam setelah Ia mendengarkan penjelasan dari saya, akirnya dia mengerti.
            Selain pengalaman itu, panggilanku juga di kuatkan dan di bentuk kembali sa’at aku mendengarkan suatu kothbah dari seorang Romo. Romo yaitu adalah Rm. Prast, yah Romo dari parokiku. Kothbahnya kalau gak salah tentang penyekolahan putra-putri umat agar di sekolahkan ke smp\sma Katolik dan akirnya mengarah (menyelenteng) pada seminari dan panggilan, dan sekaligus berbibacara bila menjadi seorang ROMO. Saya terkesan sa’at Rm Prast mengatakan bahwa “menjadi Imam berarti, menjadi Pelayan” gitu, sebenernya panjang yang Rm. Prast katakan, tapi hanya kata-kata ini yang membekas di dalam ingatanku dan sekaligus  menjadi tonggak penguat panggilanku. Sebentar setelah itu aku merenung, dan tetap, aku ingin menjadi IMAM!
            Ya, itu tadi adalah pengalaman panggilanku, yang sangat ribet. Eitzz, tapi ada satu hal yang membuat aku ini menjadi semakin kuat, kuat akan panggilan yang sudah aku pelihara ini,karena seruas motivasi yang sangat berarti dan sangat berharga. Yaitu adalah…. dan ternyata, seperti ceritaku tadi yang belum terjawab bahwa kakakku pernah masuk seminari. Aku sangat terkejut,stelah mendengar cerita ibuku tentang Kakakku. Kakakku Ternyata pernah mendaftar di Seminari lo (pantesan, kok “seminari” “seminari”), tapi setelah mendengar cukup lama ibu bercerita, ibuku menceritakan bahwa kakakku tidak di trima masuk Seminari, padahal bapakku sangat mengharapkan bahwa kakaku bisa menjadi Imam. Dan setelah itu, bapakkku menyuruh kakakku ke dua untuk masuk seminary, tapi ia tidak mau masuk, dan perasa’an bapak sangat sedih sekali kelihatanya. Nah, inilah yang sangat berhaga bagi saya dan ketika bapakku bilang kepadaku bahwa aku harus menjadi Imam, dan menggantikan harapan bapakku kepada kakak-kakakku. Dan aku berjanji, bahwa’’AKU TIDAK AKAN MENGECEWAKAN BAPAKKU”.Itulah segelumir janjiku padanya. Dari harapan bapakku lah motivasiku terbentuk.
            Yah, akirnya aku masuk seminari juga. Setelah berselang beberapa lama di seminari St. Vincent A Paulo, panggilanku sempat luntur. Tapi, dengan adanya acara-acara yang sangat kental dengan penumbuhan Panggilan, aku tidak ragu lagi untuk meneruskan jenjang kedepanya menjadi se’orang Imam! Aku senang sekolah disini, jujur pertama masuk di seminari St. Vincent A Paulo ini, aku sempat menyimpan rasa kangenku pada keluarga. Aku sempat menangis, dan sempat tidak kerasan. Tapi mau gimana lagi, itulah syarat kalau ingin menjadi se’orang imam, harus berani meninggalkan orang tua dan mengorbankan hal yang di anggap penting.                                                                     
                                               

Jumat, 21 Oktober 2011

Badai Panggilan


Oleh: Yohanes Basticovan
(Siswa Seminari Menengah St.Vincentius A Paulo – Garum)

“Badai panggilan,” merupakan dua kata yang menjelaskan bagaimana keadaan umat Allah pada zaman sekarang.

Panggilan Allah merupakan anugerah besar yang diberikan Allah kepada seseorang (ciptaanya). Panggilan ini tidak sembarang panggilan, tidak semua orang mendapatkan anugerah ini. Panggilan Allah erat kaitanya dengan hidup bagi seorang calon imam, bruder, suster atau seseorang yang mengabdikan dirinya pada Gereja. Bukan hanya mengabdikan diri pada Gereja saja, melainkan juga berani mengorbankan diri, meskipun harus mempertaruhkan nyawa sekalipun. Dengan kata lain, panggilan Allah juga dapat disebut sebagai pelayanan diri pada Allah. Sebenarnya, Allah memanggil orang pilihanya, guna menguji sampai dimana pelayanan dan kesetiaan yang dilakukan manusia terhadap penebusnya. Selain itu, umat Allah juga dituntut untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan Kristiani mengenai penghayatan diri pada Kristus.

Pada zaman sekarang, panggilan Allah dihadapkan pada zaman yang semakin berkembang dan maju. Dimana telah banyak terjadi perubahan pada pemikiran umat Kristiani, yang tidak peduli pada panggilan Allah dan cenderung pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Jadi dapat dikatakan, bahwa pada zaman ini Allah telah di nomor duakan dan dibandingkan dengan kemajuan zaman dan teknologi. Banyak umat Allah yang sekarang semakin tidak memperdulikan tentang perkembangan Gereja. Kenyataan yang tidak diragukan ini, menjadi tantangan bagi Gereja untuk menyadarkan kembali umat Allah dalam menanggapi panggilan Allah. Tantangan ini juga membuat Gereja lebih memperhatikan keadaan umatnya yang semakin terbawa arus perkembangan zaman.

Persoalan-Persoalan Dalam Menanggapi “PANGGILAN ALLAH”
Banyak persoalan-persoalan yang mempengaruhi umat Allah dalam menanggapi panggilan adalah sebagai berikut. Pertama, kurang paham dan kurang mengerti terhadap apa yang dinamakan “Panggilan Allah.” Kebanyakan umat memahami panggilan Allah, sebagai tanggapan untuk menjadi imam atau suster. Sehingga sedikit sekali ditemukan orang yang secara tulus memberikan bantuan untuk Gereja. Misalnya, memberikan sumbangan bagi umat Allah yang lemah dan kurang mampu. Atau bahkan menyediakan diri setiap hari untuk menjadi misdinar (bagi kaum muda), menjadi lektor, atau bahkan menjadi asisten imam. Hal-hal kecil ini dapat menjadi permulaan yang baik bagi umat Allah yang mencintai Kristus. Namun, sekarang sedikitlah yang memberikan dirinya untuk melayani Tuhan.

Kedua, kemajuan zaman yang semakin mejauhkan umat Allah terhadap panggilan Allah sendiri. Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, membuat umat Kristiani lupa terhadap tugas-tugasnya sebagai umat Kristiani, seperti menggunakan handphone ketika misa. Zaman yang semakin modern, menjadikan umat tidak setia lagi pada Allah.

Ketiga, sikap dan kesadaran kaum muda yang kurang aktif dan kurang perhatian pada panggilan Allah, misalnya tidak adanya kemauan untuk menjadi imam atau suster. Hal ini berimbas pada jumlah siswa seminari, yang semakin tahun semakin sedikit. Tidak hanya itu saja, kadang juga ada orang tua yang melarang anaknya untuk menjadi imam atau suster, walaupun anak tersebut ingin menanggapi panggilan Allah.
Keempat, bagi umat yang ingin menjadi imam atau suster, lawan jenis merupakan tantangan yang selalu menyelimuti dalam kehidupan sehari-hari. Banyak umat yang meninggalkan panggilan Allah hanya gara-gara permasalahan dengan lawan jenis. Persoalan ini memang sepele, namun sulit sekali untuk dihilangkan. Bagi yang imanya kuat, ia akan mampu untuk tetap setia pada panggilan Allah.

Melihat berbagai macam persoalan yang telah ada, maka penting bagi umat Allah untuk membenahi diri, terutama dalam menjawab panggilan Allah, khususnya kaum muda yang diharapkan mempunyai semangat yang tinggi. Semangat inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh Gereja, terutama dalam membenahi masa depan. Dari persoalan-persoalan tadi, dampaknya dapat dilihat secara langsung pada calon seminaris yang mendaftar tiap tahunya, yang dirasa semakin berkurang. Misalnya, calon siswa Seminari St.Vincentius A Paulo – Garum yang mendaftar semakin sedikit. Pada tahun ajaran 2008/2009 yang mendaftar berjumlah 66 anak, namun itu hanya gelombang ke 1 dan tidak dibuka gelombang ke 2, karena dirasa sudah memenuhi. Pada tahun ajaran 2009/2010 yang mendaftar berjumlah 47 anak, sehingga dibuka gelombang ke 2 dengan 18 anak yang mendaftar. Tahun pelajaran berikutnya yang mendaftar semakin sedikit, yakni gelombang pertama 55 anak dan gelombang ke 2 hanya berjumlah 9 anak. Dan pada tahun pendaftaran ini, jumlah yang mendaftar semakin sedikit, yakni hanya 51 anak.
Secercah Harapan

Melihat jumlah calon seminaris yang semakin tragis tiap tahunya, sangat jelas sekali, bahwa panggilan pada zaman sekarang sangatlah minim dan mulai luntur. Tidak adanya perhatian kaum muda bagi Gereja, membuat Gereja semakin tertekan. Untuk itulah panggilan Allah perlu ditekuni. Hal ini juga tidak lepas dari persoalan-persoalan dalam menanggapi panggilan Allah, terutama dalam perkembangan zaman yang semakin modern.

Perlu adanya penggerak untuk menggairahkan kembali umat Allah, terutama kaum muda yang menjadi generasi penerus Gereja. Penggerak itu adalah orang tua sendiri, yang menjadi pendorong bagi kaum muda dalam menjawab panggilan Allah. Terlebih-lebih jika kita mengingat bagaimana perjuangan Yesus memanggul salib sampai di bukit Golgota dengan penuh darah yang melumuri tubuhnya. Memang kita tidak merasakan, namun sakitlah hati Yesus, jika kita tidak mau mengerti dan menanggapi panggilan Allah.

Jumat, 20 Mei 2011

Pelayanan Sepenuh Hati Santo Antonius Padua

A
“Walau kondisi fisiknya sangat lemah, Antonius tetap tegar. Antonius tidak menyerah, ia tetap setia melayani jemaat dan memenuhi tugas-tugas yang diberikan atasannya dengan sepenuh hati”

        Antonius kecil lahir pada tahun 1195 di kota Lisbon, salah satu kota dalam kerajaan Portugal. Saat Sancho I mengambil alih kekuasaan, keaadan kerajaan berubah  sama sekali. Kedamaian dan rasa aman seakan lenyap dari kerajaan tersebut. Martin ayah Antonius adalah salah satu prajurit kerajaan saat itu. Kondisi demikian membuat keluarganya lebih beruntung dibandingkan tetangga-tetangganya karena kebutuhan mereka dapat terpenuhi dari pendapatan Martin selaku prajurit.
        Keluarganya dikenal baik dan beriman, Fernando adalah nama Antonius saat ia masih kecil. Dalam keluarga segala kebutuhannya tercukupi namun Fernando tidak merasa bahagia, ada sesuatu yang kosong dalam jiwanya. Fernando masuk Biara Santo Vincent de Fora, biara Agustin di Lisbon. Dari biara tersebut Fernando dipindahkan ke biara Salib Suci di Coimbra untuk dibimbing Canon John, seorang ahli Kitab suci di biara tersebut. Namun, hatinya masih merasa kosong, Fenando masih belum bahagia dengan jalan yang diambilnya. Akhirnya pada tahun 1220 Fernando memutuskan untuk masuk Ordo Fransiskan mengikuti teladan Santo Fransiskus dari Asisi. Keputusan ini diambilnya karena keinginannya untuk turut serta dalam misi Maroko. Nama Antonius didapatnya saat Fernando memulai kehidupannya sebagai seorang Fransiskan di pondok-pondok di daerah yang dikenal dengan nama Santo Antonius dari Olivia.
         Tak lama tinggal di pondok Santo Antonius dari Olivia, apa yang diharapkan Antonius akhirnya terkabul. Antonius mendapat tugas bermisi di Maroko bersama Pater Philip. Namun, Tuhan berkehendak lain, setibanya di Maroko, Antonius jatuh sakit dan harus kembali ke Portugal.
Kapal yang ditumpanginya terdampar di Italia, Antonius beruntung karena dari pantai ada sebuah Biara yang berjarak cukup dekat. Pada musim semi tahun itu, para pengikut Frasiskus mengadakan pertemuan di Umbria,Asisi utara. Antonius tidak menyia-siakan kesempatan langka ini. Badannya yang sakit tidak mampu melawan keinginan Antonius untuk bertemu dengan Pater Fransiskus Asisi. Pengalaman bertemu dengan Fransiskus Asisi memberikan semangat baru bagi Antonius. Setelah itu, Antonius tinggal di pertapaan Monte Paolo, Antonius memilih hidup sederhana dengan tinggal di gudang penyimpanan barang di pertapaan tersebut.
            Suatu hari Antonius pergi menyadarkan umat di Remini yang mulai kacau, namun ketika sampai di sana ia justru ditolak mentah-mentah. Antonius tidak menyerah namun setelah berhari-hari kejadian yang sama terus berulang, hal ini membuat Pater Albert yang menemani Pater Antonius kesal dan mengajak Antonius untuk kembali ke biara. Antonius masih belum menyerah dicobanya lagi untuk menyadarkan para umat Remini, namun nihil. Akhirnya Antonius berkotbah kepada ikan-ikan di sungai, umat yang melihat terkejut akan mukzijat itu. Maka berbondong-bondonglah orang banyak datang untuk menyaksikan apa yang dilakukan Antonius, mereka meminta pengampunan dosa pada Antonius.
          Walau kondisi fisiknya sangat lemah, Antonius tetap tegar. Antonius tidak menyerah, ia tetap setia melayani jemaat dan memenuhi tugas-tugas yang diberikan atasannya dengan sepenuh hati. Antonius dipilih menjadi menjadi pastor pembimbing di Le Puy en Valey, 175 mil dari Toulose. Saat Fransiskus Asisi meninggal pada tahun 1226, Antonius dipanggil kembali ke Italia dan diangkat menjadi superiol provinsial Italia Utara terutama didaerah Padua. Setelah jabatannya lepas Antonius menetap di Padua, namun Ia tidak pernah berhenti berkeliling dari satu kota ke kota yang lain.
             Kondisi fisiknya yang terus melemah, dadanya terasa kian sesak untuk bernafas karena cairan telah mengisinya . Karena sudah tidak kuat berjalan maka Antonius diantar dengan sebuah kereta yang ditarik keledai diantar menuju Padua.Makin lama kondisinya semakin memprihatinkan, karena itu ia dibawa menuju Biara terdekat. Di Biara para suster Poor Ladies di Arcella, Antonius menghembuskan nafas terakhirnya dengan damai ditempat itu.
          Kematian Antonius membuat semua umat berduka, sempat terjadi perebutan tempat pemakaman jenasah Antonius antara umat Padua dengan Umat Arcella sehingga Uskup harus turun tangan menanganinya dan memutuskan untuk memakamkan Antonius di kota Padua sesuai permintaan terakhirnya.
Atas desakan para Uskup, Imam, umat, serta keputusan Paus sendiri. Paus gregorius IX mengkanonisasikan Antonius sebagai Santo pada  tanggal 30 Mei 1232. Dan tanggal 13 Juni ditetapkan sebagai hari raya Santo Antonius dari Padua. (S.Shandy.H.P.P)

Senin, 16 Mei 2011

SEMINARIS GARUM LULUS 100%

Seminaris Kelas XII, Hari ini Bergembira karena hasil UAN yang diterima tidak mengecewakan. Awalnya, mereka sangat deg-deg'an menunggu hasil UAN dan kini hasil yang mereka peroleh melalui kejujuran, memberikan buah yang manis.

THANK's Jesu!!!

Minggu, 10 April 2011

Menjadi Pribadi yang Integral

Sebagai seorang seminaris, sebuah usaha untuk menjadi probadi yang integral adalah sebuah kewajiban, yang benar-benar harus dijalani dengan segenap hati dan niat yang sungguh-sungguh kuat. Sehingga itu semua bukan hanya sekedar usaha yang hanya diniatkan saja, namun usaha yang diniatkan dan juga usaha yang benar-benar dilakukan. Berusaha menjadi pribadi yang integral berarti sama dengan berusaha untuk menjadi diri sendiri yang benar-benar utuh. Sehingga apa yang orang lain lihat tentang diri kita yang nampak dari luar mereka juga sama dengan melihat tetang diri kita yang nampak dari dalam, yaikni isi hati dan kepribadian asli kita. Hal itu dapat membentuk kita menjadi pribadi yang jujur, tidak munafik, apa adanya, tidak plin-plan, dan tidak mudah ikut-ikutan dengan orang lain atau terpengaruh sesuatu yang berasal dari luar diri kita.

    Usahaku sendiri sebagai seorang seminaris dalam berkembang menjadi pribadi yang integral bukanlah usaha yang sangat sulit untukku lakukan . Namun bukan berarti bahwa aku tidak berjuang untuk berkembang dengan keras dalam menjadi pribadi yang benar-benar integral. Banyak juga kesulitan yang ku hadapi namun itu dapat aku lalui. Hal yang membuat aku berfikir dan merasa bahwa hal itu aku rasa tidak sulit adalah karena aku senang menjadi diri sendiri, tidak suka ikut-ikutan, dan terutama tidak munafik. Hal lain yang membantuku dalam proses ini adalah karena aku juga mempunyai komitmen yang telahku tanamkan di dalam diriku sejak aku masih duduk di bangku SMP dulu, yakni “Be your self and just the way you're”.

    Kenapa aku memilih itu? Karena menurutku memang lebih menyenangkan dan membanggakan menjadi diri sendiri yang mampu menciptakan sesuatu yang berguna bagi orang lain dan diri sendiri, yang menunjukkan identitas diriku sendiri. Karena sesuatu itu berasal dari diriku sendiri dan original, tanpa ikut-ikutan orang lain. Contohnya saja aku tidak pernah ikut-ikutan artis atau orang manapun dalam cara berpenampilan, aku selalu berpenampilan yang sesuai dengan diriku sendiri dan cocok dengan diriku, karena aku tidak ingin menjadi follower ataupun leader, aku hanya ingin menjadi trendcenter, yang mampu menciptakan hal baru. Aku melakukan hal itu karena aku tidak suka dengan orang yang hanya suka dan bisanya meniru-niru gaya dari orang lain, baik dalam cara berpenampilan maupun, berbicara, berjalan, menyanyi, dan lain-lain sehingga diri dari orang itu menjadi tidak jelas karena hanya mengikuti saja dan orang itu juga kehilangan kepribadian atau kharakternya yang sesungguhnya dia miliki sendiri yang sesungguhnya sangat unik dan indah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kepribadiannya menjadi tidak lagi integral. Orang itupun bisa-bisa malah menjadi orang atau pribadi yang disebut dengan “alay” , ‘yakni orang yang biasanya disematkan pada sosok anak yang sok keren, secara fashion (penampilan), karya (musik) maupun kelakuan secara umum’ (sumber : Majalah Hot Chord edisi 26 tahun 2010). Aku sendiri mengartiakan hal itu sebagai orang yang hanya mengikuti mode tanpa tahu nilai fungsi yang sesungguhnya, terkadang walau tidak cocok dengan dirinya tetap dia kenakan dan dia lakukan, yang penting gaya.

    Usaha-usaha yang ku lakukan agar bias menjadi pribadi yang benar-benar integral adalah salahsatunya dengan terbuka terhadap orang-orang di sekitarku, karena dengan terbuka aku dapat dinilai oleh orang lain dan aku dapat menerimanya dengan baik hal itu demi memperbaiki diriku. Sikap jujur atau denga kata lain tidak munafik adalah hal yang juga penting dalam usahaku, karena dengan tidak munafik berarti aku tidak membohongi orang lain dan diriku sendiri dengan apa yang nampak dari luar diriku, namun aku selalu mensingkronkan apa yang ada dari luar diriku (penampilan fisik) dengan apa yang ada dari dalam diriku (isi hati), sehingga aku tidak disebut sebagaui kuburan China, yakni yang hanya baik dan bagus di dalam namun ternyata busuk di dalam.

    Dengan segala usaha itu aku telah memperoleh hal yang sangat berharga bagi diriku, yakni hidup sebagai pribadi yang integral walaupun belum sempurna. Namun sudah sangat memuaskan bahwa aku hidup dengan tanpa tekanan yang berasal dari dalam diriku, karena aku selalu bersikap terbuka terhadap orang-orang di sekitarku sehingga tidak ada yang ku bohongi baik diri sendiri maupun orang lain, atau denga kata lain   aku telah mampu mengalahkan kemunafikan dalam diriku yang memang dari dulu tidak aku sukai. Selain itu aku juga tidak mudah ikut-ikutan dengan tren yang terkadang tidak jelas apa nilai dan fungsi yang terkandung di dalamnya. Aku sebagai pribadi yang integral juga mampu menciptakan karya-karyaku yang orisinil. Aku cukup senang terhadap apa yang telah ku capai itu, karena apa yang telah ku capai itu adalah salah satu buah dari usahaku.By: Yusafat Eko Transisko (Afa)  

Sabtu, 02 April 2011

History Of Seminary Garum

 Seminari Garum berdiri pada hari Raya Santo Petrus dan Paulus, 29 Juni 1948, di Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Jalan Kepanjen 4-6 Surabaya. Pendiri Seminari Garum adalah seorang uskup bernama Mgr. Michael Verhoeks CM dan dirintis oleh seorang pastor bernama Ignatius Dwidjasoesastra CM.Seiring perkembangannya Seminari dipindahkan lokasinya yang semula dijalan Kepanjen lalu di jalan Dinoyo Surabaya dan akhirnya sampai sekarang berada di Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Daerah Blitar dipilih bukan tanpa alasan, namun daerah ini dipilih karena memang kondisinya yang tidak terlalu bising dan jauh dari keramaian, selain itu juga karena daerah Blitar mempunyai banyak daerah(stasi)yang masih harus diperhatikan(umat katolik). Tujuan Seminari adalah menyelenggarakan pembinaan bagi lulusan SMP/SMA/SMK, yang bersedia mengikuti panggilan khusus untuk terlibat dalam pelayanan rohani sebagai imam di wilayah Keuskupan Surabaya dan Gereja Katholik pada umumnya. Sebagai Prioritas, lulusan Seminari diarahkan untuk memenuhi kebutuhan imam-imam Praja Keuskupan Surabaya dan imam-imam Congregatio Missionis (CM), namun tidak menutup kemungkinan lulusan Seminari berkarya untuk Tarekat atau Keuskupan yang lainnya.
   Seminari Garum atau Seminari Menengah Santo Vincentius a Paulo Garum adalah sebuah lembaga pendidikan awal untuk para calon pastor Katolik. Seminari ini terletak di desa atau lebih tepat Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Saat ini, Seminari Garum terdiri dari SMA (Sekolah Menengah Atas), kelas khusus sesudah SMA, dan satu kelas lagi yang disebut dengan "Kelas IV". Para murid yang sekolah di Seminari Garum disebut "seminaris." Apabila lulus dari Seminari Garum, dan yang bersangkutan tetap ingin melanjutkan pembinaan sebagai calon pastor Katolik, mereka akan melanjutkannya ke Seminari Tinggi. Seminari Garum memiliki sekelumit sejarah pendirian yang menyentuh.

Seminari Santo Vincentius a Paulo, Garum, Blitar. Panorama awal tahun 1959. Sumber foto: Missiefront 1959

     Reportase sejarah pendirian Seminari Garum ditulis pertama kali dalam sebuah artikel ringkas oleh Almarhum Romo Karl Prent CM, salah satu pembina seminari pada waktu itu, dalam bahasa Belanda, berjudul "Het Nieuwe Seminarie te Garum" (Seminari Baru di Garum). Tulisan ini dipublikasikan dalam majalah misi, Missiefront.

    Romo Karl Prent CM menulis pengantar artikelnya demikian: "Tanggal 29 Juni 1959, pesta St. Petrus dan Paulus, di sebuah desa yang tenang, yaitu Garum (terletak di jalan Malang-Blitar), sekitar pukul sepuluh pagi ada keramaian yang tidak biasa. Ratusan umat Katolik dari Blitar, Garum, Wlingi, dan Slorok datang berduyun-duyun ke seminari. Mereka menghadiri misa agung yang dipersembahkan oleh Yang Mulia Mgr. J. Klooster, CM., Vikaris Apostolik Surabaya dan kemudian bersama-sama sarapan di ruang makan seminari. Puluhan mobil mengantar para undangan (di antaranya banyak pejabat sipil dan militer) untuk resepsi. Pesta di Garum. Hari ini ulang tahun ke-11 pendirian seminari [di keuskupan Surabaya], sebuah kompleks gedung baru secara resmi mulai digunakan. Sejumlah program pesta telah disusun: Pada malam hari akan ada pertunjukan wayang kulit untuk rakyat di sekitar dan besok pagi ratusan anak akan datang di lapangan olah raga kami untuk mengadakan permainan-permainan rakyat. Rektor seminari, Pastor J. Verbong CM, ekonom, Pastor Adam van Mensvoort CM, kekurangan mata dan tangan untuk mengatur itu semua. Diam-diam kami telah memikirkan jalan panjang yang telah ditempuh selama 11 tahun silam. Pada waktu itu, tahun 1948, Pastor H. Niessen memberikan pelajaran kepada 8 seminaris di sebuah kamar pastoran yang kotor di kota Surabaya yang panas. Sekarang, 11 tahun kemudian, terdapat 5 frater CM teologan di luar negeri, di Garum terdapat 16 frater (CM) yang menuntut pelajaran filsafat, ada korps pengajar yang lengkap, seminari menengah itu mempunyai 5 kelas dan ada sebuah kompleks gedung baru di tengah-tengah nyiur-nyiur yang dikelilingi sawah-sawah, indah."

    Dari kutipan reportase Romo Karl Prent CM di atas, Seminari Garum ternyata sudah dimulai (di tempat lain: di sebuah "kamar pastoran yang kotor") sebelas tahun yang silam (dari tahun 1959). Berarti, Seminari Garum memiliki awal pendirian tahun 1948. Dan, diketahui bahwa ketika Seminari Garum pertama kali digunakan tahun 1959, di situ terdapat pula pelajaran filsafat untuk 16 frater. Maksudnya, Seminari Garum pada awalnya juga sekaligus merupakan Seminari Tinggi (bagi para calon CM ketika itu), disamping pendidikan seminari menengah. Seminari Garum didirikan oleh para perintis Gereja Keuskupan Surabaya, para Romo CM, sebagai salah satu "puncak" karya misi bagi Keuskupan Surabaya.
 
    Dimana seminari pertama kali dimulai tahun 1948, yang disebut oleh Romo Karl Prent CM itu? Romo Prent dan Romo Wolters adalah dua imam yang merekam dengan baik apa yang terjadi tahun itu. Dikisahkan demikian: "Pada waktu awal [seminari] dapat disebut merupakan sebuah petualangan yang romantis. Hari-hari itu tahun 1948 adalah hari-hari kacau. Di suatu hari yang kacau oleh perang kemerdekaan, dimana wilayah negara dipisahkan oleh garis demarkasi, Pastor Dwidjosoesastro CM bersama dengan delapan anak berjalan kaki menembus garis demarkasi, datang ke Surabaya. Setelah perjalanan yang berliku-liku dan melelahkan, pada tanggal 29 Juni 1948, jam 12 siang, mereka tiba di Surabaya. Delapan itu adalah anak-anak Jawa yang ingin menjadi pastor, diantaranya dua yang tertua, Reksosoebroto dan Sastropranoto [juga Julius Haryanto] ketika itu (1948) sedang menyelesaikan studi mereka di Yogya dan kini [1959) mau menerima tahbisan. Keuskupan Surabaya sudah sejak lama sekali merindukan memiliki pastor sendiri. Sudah ada sebenarnya beberapa imam Jawa yang bekerja di Vikariat [Keuskupan Surabaya], namun sampai saat ini jumlah calon imam tidak cukup banyak untuk mendirikan seminari menengah sendiri."

    Yang dimaksud datang ke Surabaya ialah datang di Jalan Kepanjen No. 9, Surabaya, yang saat ini menjadi Rumah Provinsialat romo-romo CM. Baik Romo Jan Wolters CM maupun Romo Karl Prent CM berpendapat bahwa yang memulai pertama kali "seminari" di keuskupan Surabaya tahun 1948 tersebut adalah pastor Ignatius Dwidjosoesastro CM. Siapakah pastor Dwidjosoesastro ini? Dia adalah pastor Jawa Asli, CM pertama Indonesia, yang telah menjadi imam tahun 1941 di Belanda, dan kembali ke Indonesia tahun 1946 (sesudah Perang Dunia II). Dialah yang disebut sebagai "pro-vikaris apostolik" Surabaya pada waktu itu dari Vikaris Mgr. Michael Verhoeks CM. Ketika itu, wilayah vikariat Surabaya terbagi menjadi dua, karena perang agresi. Sebagian wilayah Mojokerto ke timur dikuasai oleh tentara Sekutu (Belanda), wilayah barat dikuasai oleh tentara rakyat Indonesia. Romo Dwidjosoesastro CM bertugas di wilayah barat.
Pada tanggal 25 Februari 1950, Seminari di Jalan Kepanjen No. 9 Surabaya dipindahkan di gedung sendiri, di Jalan Dinoyo 42. Ketika itu Jalan dinoyo 42 adalah mantan rumah Administrator daerah Darmo. Jika, ketika di Jalan Kepanjen, "rektor" seminari adalah Romo Superior Misi waktu itu, yaitu Romo van Megen CM; maka, di Jalan Dinoyo 42, rektor seminarinya adalah Romo van Driel CM.

   Tetapi, di atas segalanya, sesungguhnya pendirian seminari menengah sebagai wahana pendidikan para calon pastor asli (Indonesia) sudah ada di kerinduan terdalam dari Mgr. Theophile de Backere CM, Prefek Apostolik pertama Surabaya, perintis Keuskupan Surabaya. Menurut Mgr. de Backere CM, Gereja Indonesia harus berakar dalam budaya Indonesia melalui klerus (imam-imam) pribumi. Sudah sejak awal (mungkin sebelum tahun 1927) Romo de Backere CM, sebagai kepala misi di wilayah Keuskupan Surabaya, merindukan formasio bagi para calon imam pribumi. Tanah untuk seminari konon sudah dibeli. Tetapi, ijin dari Provinsi CM di Belanda belum tiba, sebab tenaga pembina untuk itu belum tersedia. Tambahan lagi, krisis ekonomi yang melanda dunia dan Eropa memporak-porandakan rencana pembangunan seminari. Sampai tahun 1938, tahun keberangkatan Mgr. de Backere CM ke Belanda untuk pulang selamanya, telah terdapat delapan calon, diantaranya adalah Romo Dibjakariono Pr, yang kelak akan menjadi Uskup Surabaya.[5]
Kerinduan Mgr. de Backere CM tersebut baru dapat terlaksana tahun 1948 (di Jalan Kepanjen 9, Surabaya), yang kemudian berpindah ke Jalan Dinoyo 42 (tahun 1950), dan akhirnya berlabuh di desa Garum (tahun 1959 hingga saat ini).
 
Perkembangan Selanjutnya

   Dari awal yang hanya delapan siswa, kini Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo di Garum memiliki siswa sekitar 100-an atau lebih. Pada tahun 1980, di saat rektornya ketika itu Romo Adam van Mensvoort CM, seminari Garum menutup bagian penerimaan "tingkat bawah" atau setara dengan SMP (calon siswa berasal dari lulusan SD). Pertimbangannya: para calon masih terlampau kecil. Sejak saat itu, di Seminari Garum yang ada hanyalah SMA dan kelas di atasnya yang disebut "Kelas IV".

   Tujuan Seminari adalah menyelenggarakan pembinaan bagi lulusan SMP/SMA/SMK, yang bersedia mengikuti panggilan khusus untuk terlibat dalam pelayanan rohani sebagai imam di wilayah Keuskupan Surabaya dan Gereja Katolik pada umumnya. Sebagai Prioritas, lulusan Seminari diarahkan untuk memenuhi kebutuhan imam-imam Praja Keuskupan Surabaya dan imam-imam Congregatio Missionis (CM), namun tidak menutup kemungkinan lulusan Seminari berkarya untuk Tarekat atau Keuskupan yang lainnya.
Mereka yang tidak melanjutkan studi di jalur imamat pada umumnya tampil sebagai para pemimpin di dalam masyarakat. Tidak sedikit para alumni Garum yang memiliki peran penting di masyarakat dan negara Indonesia, baik di bidang intelektual pendidikan maupun bisnis dan politik. Kebanyakan dari mereka tampil sebagai pemimpin dalam masyarakat dan menjadi tokoh Gereja Katolik setempat.

   Bagi masyarakat sekitar Blitar dan Garum, Seminari dikenal sebagai tempat bina anak-anak muda yang dinamis, yang kreatif dalam penguasaan bahasa asing, giat dalam bermain sepakbola, pandai bermain drama dan seni. Para seminaris dibina dalam persaudaraan dan persahabatan serta gigih untuk menatap ke depan. Di keuskupan Surabaya, Seminari Garum merupakan semacam "dapur" yang indah dan penting bagi pembinaan masa depan tenaga-tenaga pastoral mereka. Tetapi, seperti semangat dari para perintisnya, Seminari Garum memiliki dimensi misioner, yaitu pembinaan bagi para calon pewarta Injil yang siap diutus kemana saja Tuhan kehendaki dan Gereja butuhkan.

   Sampai hari ini, seminari itu tertata dan terawat dengan baik dalam sistem pembinaannya seiring dengan kemajuan dan perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Para pembinanya tetap merupakan kesaksian indah dari kerjasama dan persahabatan antara para imam diosesan Surabaya dan para imam CM (Kongregasi Misi) sebagai perintis seminari dan keuskupan Surabaya. Mereka bahu membahu bersama beberapa guru dan awam Katolik serta para Suster Puteri Kasih dalam suasana persahabatan untuk membina anak-anak muda, para seminaris, yang mendengarkan panggilan Tuhan. Suasana persaudaraan dan persahabatan di antara para pembina dan seminaris inilah yang menjadi pondasi kokoh keberlangsungan mutu pembinaan para calon imam di Seminari Garum.

   Nama pelindung, Santo Vincentius a Paulo, merupakan teladan sekaligus menjadi visi ke depan pembinaannya: bahwa para siswanya diantar kepada sikap dan tekad untuk mengabdi Tuhan dan mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin dan terlantar di mana saja, di keuskupan Surabaya, di aneka wilayah Indonesia, juga di wilayah-wilayah seluruh dunia.

   Para Romo yang pernah menjadi rektor Seminari Garum: Romo van Megen CM (ketika masih di Jalan Kepanjen 9 Surabaya), Romo van Driel CM (ketika di Jalan Dinoyo 42 Surabaya), Romo Verbong CM, Romo Karl Prent CM, Romo J. Haryanto CM, Romo Adam van Mensvoort CM, Romo Sjef van Mensvoort CM (pengganti sementara), Romo Hardjodirono CM (pejabat sementara), Romo Louis Pandu CM, Romo Haryo Pranoto Pr, Romo Agustinus Marsup CM, Romo Edi Laksito Pr, Romo Senti Fernandez Pr, Romo Cahyono Pr.