Tx

Minggu, 10 April 2011

Menjadi Pribadi yang Integral

Sebagai seorang seminaris, sebuah usaha untuk menjadi probadi yang integral adalah sebuah kewajiban, yang benar-benar harus dijalani dengan segenap hati dan niat yang sungguh-sungguh kuat. Sehingga itu semua bukan hanya sekedar usaha yang hanya diniatkan saja, namun usaha yang diniatkan dan juga usaha yang benar-benar dilakukan. Berusaha menjadi pribadi yang integral berarti sama dengan berusaha untuk menjadi diri sendiri yang benar-benar utuh. Sehingga apa yang orang lain lihat tentang diri kita yang nampak dari luar mereka juga sama dengan melihat tetang diri kita yang nampak dari dalam, yaikni isi hati dan kepribadian asli kita. Hal itu dapat membentuk kita menjadi pribadi yang jujur, tidak munafik, apa adanya, tidak plin-plan, dan tidak mudah ikut-ikutan dengan orang lain atau terpengaruh sesuatu yang berasal dari luar diri kita.

    Usahaku sendiri sebagai seorang seminaris dalam berkembang menjadi pribadi yang integral bukanlah usaha yang sangat sulit untukku lakukan . Namun bukan berarti bahwa aku tidak berjuang untuk berkembang dengan keras dalam menjadi pribadi yang benar-benar integral. Banyak juga kesulitan yang ku hadapi namun itu dapat aku lalui. Hal yang membuat aku berfikir dan merasa bahwa hal itu aku rasa tidak sulit adalah karena aku senang menjadi diri sendiri, tidak suka ikut-ikutan, dan terutama tidak munafik. Hal lain yang membantuku dalam proses ini adalah karena aku juga mempunyai komitmen yang telahku tanamkan di dalam diriku sejak aku masih duduk di bangku SMP dulu, yakni “Be your self and just the way you're”.

    Kenapa aku memilih itu? Karena menurutku memang lebih menyenangkan dan membanggakan menjadi diri sendiri yang mampu menciptakan sesuatu yang berguna bagi orang lain dan diri sendiri, yang menunjukkan identitas diriku sendiri. Karena sesuatu itu berasal dari diriku sendiri dan original, tanpa ikut-ikutan orang lain. Contohnya saja aku tidak pernah ikut-ikutan artis atau orang manapun dalam cara berpenampilan, aku selalu berpenampilan yang sesuai dengan diriku sendiri dan cocok dengan diriku, karena aku tidak ingin menjadi follower ataupun leader, aku hanya ingin menjadi trendcenter, yang mampu menciptakan hal baru. Aku melakukan hal itu karena aku tidak suka dengan orang yang hanya suka dan bisanya meniru-niru gaya dari orang lain, baik dalam cara berpenampilan maupun, berbicara, berjalan, menyanyi, dan lain-lain sehingga diri dari orang itu menjadi tidak jelas karena hanya mengikuti saja dan orang itu juga kehilangan kepribadian atau kharakternya yang sesungguhnya dia miliki sendiri yang sesungguhnya sangat unik dan indah, sehingga dapat disimpulkan bahwa kepribadiannya menjadi tidak lagi integral. Orang itupun bisa-bisa malah menjadi orang atau pribadi yang disebut dengan “alay” , ‘yakni orang yang biasanya disematkan pada sosok anak yang sok keren, secara fashion (penampilan), karya (musik) maupun kelakuan secara umum’ (sumber : Majalah Hot Chord edisi 26 tahun 2010). Aku sendiri mengartiakan hal itu sebagai orang yang hanya mengikuti mode tanpa tahu nilai fungsi yang sesungguhnya, terkadang walau tidak cocok dengan dirinya tetap dia kenakan dan dia lakukan, yang penting gaya.

    Usaha-usaha yang ku lakukan agar bias menjadi pribadi yang benar-benar integral adalah salahsatunya dengan terbuka terhadap orang-orang di sekitarku, karena dengan terbuka aku dapat dinilai oleh orang lain dan aku dapat menerimanya dengan baik hal itu demi memperbaiki diriku. Sikap jujur atau denga kata lain tidak munafik adalah hal yang juga penting dalam usahaku, karena dengan tidak munafik berarti aku tidak membohongi orang lain dan diriku sendiri dengan apa yang nampak dari luar diriku, namun aku selalu mensingkronkan apa yang ada dari luar diriku (penampilan fisik) dengan apa yang ada dari dalam diriku (isi hati), sehingga aku tidak disebut sebagaui kuburan China, yakni yang hanya baik dan bagus di dalam namun ternyata busuk di dalam.

    Dengan segala usaha itu aku telah memperoleh hal yang sangat berharga bagi diriku, yakni hidup sebagai pribadi yang integral walaupun belum sempurna. Namun sudah sangat memuaskan bahwa aku hidup dengan tanpa tekanan yang berasal dari dalam diriku, karena aku selalu bersikap terbuka terhadap orang-orang di sekitarku sehingga tidak ada yang ku bohongi baik diri sendiri maupun orang lain, atau denga kata lain   aku telah mampu mengalahkan kemunafikan dalam diriku yang memang dari dulu tidak aku sukai. Selain itu aku juga tidak mudah ikut-ikutan dengan tren yang terkadang tidak jelas apa nilai dan fungsi yang terkandung di dalamnya. Aku sebagai pribadi yang integral juga mampu menciptakan karya-karyaku yang orisinil. Aku cukup senang terhadap apa yang telah ku capai itu, karena apa yang telah ku capai itu adalah salah satu buah dari usahaku.By: Yusafat Eko Transisko (Afa)  

Sabtu, 02 April 2011

History Of Seminary Garum

 Seminari Garum berdiri pada hari Raya Santo Petrus dan Paulus, 29 Juni 1948, di Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Jalan Kepanjen 4-6 Surabaya. Pendiri Seminari Garum adalah seorang uskup bernama Mgr. Michael Verhoeks CM dan dirintis oleh seorang pastor bernama Ignatius Dwidjasoesastra CM.Seiring perkembangannya Seminari dipindahkan lokasinya yang semula dijalan Kepanjen lalu di jalan Dinoyo Surabaya dan akhirnya sampai sekarang berada di Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Daerah Blitar dipilih bukan tanpa alasan, namun daerah ini dipilih karena memang kondisinya yang tidak terlalu bising dan jauh dari keramaian, selain itu juga karena daerah Blitar mempunyai banyak daerah(stasi)yang masih harus diperhatikan(umat katolik). Tujuan Seminari adalah menyelenggarakan pembinaan bagi lulusan SMP/SMA/SMK, yang bersedia mengikuti panggilan khusus untuk terlibat dalam pelayanan rohani sebagai imam di wilayah Keuskupan Surabaya dan Gereja Katholik pada umumnya. Sebagai Prioritas, lulusan Seminari diarahkan untuk memenuhi kebutuhan imam-imam Praja Keuskupan Surabaya dan imam-imam Congregatio Missionis (CM), namun tidak menutup kemungkinan lulusan Seminari berkarya untuk Tarekat atau Keuskupan yang lainnya.
   Seminari Garum atau Seminari Menengah Santo Vincentius a Paulo Garum adalah sebuah lembaga pendidikan awal untuk para calon pastor Katolik. Seminari ini terletak di desa atau lebih tepat Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Saat ini, Seminari Garum terdiri dari SMA (Sekolah Menengah Atas), kelas khusus sesudah SMA, dan satu kelas lagi yang disebut dengan "Kelas IV". Para murid yang sekolah di Seminari Garum disebut "seminaris." Apabila lulus dari Seminari Garum, dan yang bersangkutan tetap ingin melanjutkan pembinaan sebagai calon pastor Katolik, mereka akan melanjutkannya ke Seminari Tinggi. Seminari Garum memiliki sekelumit sejarah pendirian yang menyentuh.

Seminari Santo Vincentius a Paulo, Garum, Blitar. Panorama awal tahun 1959. Sumber foto: Missiefront 1959

     Reportase sejarah pendirian Seminari Garum ditulis pertama kali dalam sebuah artikel ringkas oleh Almarhum Romo Karl Prent CM, salah satu pembina seminari pada waktu itu, dalam bahasa Belanda, berjudul "Het Nieuwe Seminarie te Garum" (Seminari Baru di Garum). Tulisan ini dipublikasikan dalam majalah misi, Missiefront.

    Romo Karl Prent CM menulis pengantar artikelnya demikian: "Tanggal 29 Juni 1959, pesta St. Petrus dan Paulus, di sebuah desa yang tenang, yaitu Garum (terletak di jalan Malang-Blitar), sekitar pukul sepuluh pagi ada keramaian yang tidak biasa. Ratusan umat Katolik dari Blitar, Garum, Wlingi, dan Slorok datang berduyun-duyun ke seminari. Mereka menghadiri misa agung yang dipersembahkan oleh Yang Mulia Mgr. J. Klooster, CM., Vikaris Apostolik Surabaya dan kemudian bersama-sama sarapan di ruang makan seminari. Puluhan mobil mengantar para undangan (di antaranya banyak pejabat sipil dan militer) untuk resepsi. Pesta di Garum. Hari ini ulang tahun ke-11 pendirian seminari [di keuskupan Surabaya], sebuah kompleks gedung baru secara resmi mulai digunakan. Sejumlah program pesta telah disusun: Pada malam hari akan ada pertunjukan wayang kulit untuk rakyat di sekitar dan besok pagi ratusan anak akan datang di lapangan olah raga kami untuk mengadakan permainan-permainan rakyat. Rektor seminari, Pastor J. Verbong CM, ekonom, Pastor Adam van Mensvoort CM, kekurangan mata dan tangan untuk mengatur itu semua. Diam-diam kami telah memikirkan jalan panjang yang telah ditempuh selama 11 tahun silam. Pada waktu itu, tahun 1948, Pastor H. Niessen memberikan pelajaran kepada 8 seminaris di sebuah kamar pastoran yang kotor di kota Surabaya yang panas. Sekarang, 11 tahun kemudian, terdapat 5 frater CM teologan di luar negeri, di Garum terdapat 16 frater (CM) yang menuntut pelajaran filsafat, ada korps pengajar yang lengkap, seminari menengah itu mempunyai 5 kelas dan ada sebuah kompleks gedung baru di tengah-tengah nyiur-nyiur yang dikelilingi sawah-sawah, indah."

    Dari kutipan reportase Romo Karl Prent CM di atas, Seminari Garum ternyata sudah dimulai (di tempat lain: di sebuah "kamar pastoran yang kotor") sebelas tahun yang silam (dari tahun 1959). Berarti, Seminari Garum memiliki awal pendirian tahun 1948. Dan, diketahui bahwa ketika Seminari Garum pertama kali digunakan tahun 1959, di situ terdapat pula pelajaran filsafat untuk 16 frater. Maksudnya, Seminari Garum pada awalnya juga sekaligus merupakan Seminari Tinggi (bagi para calon CM ketika itu), disamping pendidikan seminari menengah. Seminari Garum didirikan oleh para perintis Gereja Keuskupan Surabaya, para Romo CM, sebagai salah satu "puncak" karya misi bagi Keuskupan Surabaya.
 
    Dimana seminari pertama kali dimulai tahun 1948, yang disebut oleh Romo Karl Prent CM itu? Romo Prent dan Romo Wolters adalah dua imam yang merekam dengan baik apa yang terjadi tahun itu. Dikisahkan demikian: "Pada waktu awal [seminari] dapat disebut merupakan sebuah petualangan yang romantis. Hari-hari itu tahun 1948 adalah hari-hari kacau. Di suatu hari yang kacau oleh perang kemerdekaan, dimana wilayah negara dipisahkan oleh garis demarkasi, Pastor Dwidjosoesastro CM bersama dengan delapan anak berjalan kaki menembus garis demarkasi, datang ke Surabaya. Setelah perjalanan yang berliku-liku dan melelahkan, pada tanggal 29 Juni 1948, jam 12 siang, mereka tiba di Surabaya. Delapan itu adalah anak-anak Jawa yang ingin menjadi pastor, diantaranya dua yang tertua, Reksosoebroto dan Sastropranoto [juga Julius Haryanto] ketika itu (1948) sedang menyelesaikan studi mereka di Yogya dan kini [1959) mau menerima tahbisan. Keuskupan Surabaya sudah sejak lama sekali merindukan memiliki pastor sendiri. Sudah ada sebenarnya beberapa imam Jawa yang bekerja di Vikariat [Keuskupan Surabaya], namun sampai saat ini jumlah calon imam tidak cukup banyak untuk mendirikan seminari menengah sendiri."

    Yang dimaksud datang ke Surabaya ialah datang di Jalan Kepanjen No. 9, Surabaya, yang saat ini menjadi Rumah Provinsialat romo-romo CM. Baik Romo Jan Wolters CM maupun Romo Karl Prent CM berpendapat bahwa yang memulai pertama kali "seminari" di keuskupan Surabaya tahun 1948 tersebut adalah pastor Ignatius Dwidjosoesastro CM. Siapakah pastor Dwidjosoesastro ini? Dia adalah pastor Jawa Asli, CM pertama Indonesia, yang telah menjadi imam tahun 1941 di Belanda, dan kembali ke Indonesia tahun 1946 (sesudah Perang Dunia II). Dialah yang disebut sebagai "pro-vikaris apostolik" Surabaya pada waktu itu dari Vikaris Mgr. Michael Verhoeks CM. Ketika itu, wilayah vikariat Surabaya terbagi menjadi dua, karena perang agresi. Sebagian wilayah Mojokerto ke timur dikuasai oleh tentara Sekutu (Belanda), wilayah barat dikuasai oleh tentara rakyat Indonesia. Romo Dwidjosoesastro CM bertugas di wilayah barat.
Pada tanggal 25 Februari 1950, Seminari di Jalan Kepanjen No. 9 Surabaya dipindahkan di gedung sendiri, di Jalan Dinoyo 42. Ketika itu Jalan dinoyo 42 adalah mantan rumah Administrator daerah Darmo. Jika, ketika di Jalan Kepanjen, "rektor" seminari adalah Romo Superior Misi waktu itu, yaitu Romo van Megen CM; maka, di Jalan Dinoyo 42, rektor seminarinya adalah Romo van Driel CM.

   Tetapi, di atas segalanya, sesungguhnya pendirian seminari menengah sebagai wahana pendidikan para calon pastor asli (Indonesia) sudah ada di kerinduan terdalam dari Mgr. Theophile de Backere CM, Prefek Apostolik pertama Surabaya, perintis Keuskupan Surabaya. Menurut Mgr. de Backere CM, Gereja Indonesia harus berakar dalam budaya Indonesia melalui klerus (imam-imam) pribumi. Sudah sejak awal (mungkin sebelum tahun 1927) Romo de Backere CM, sebagai kepala misi di wilayah Keuskupan Surabaya, merindukan formasio bagi para calon imam pribumi. Tanah untuk seminari konon sudah dibeli. Tetapi, ijin dari Provinsi CM di Belanda belum tiba, sebab tenaga pembina untuk itu belum tersedia. Tambahan lagi, krisis ekonomi yang melanda dunia dan Eropa memporak-porandakan rencana pembangunan seminari. Sampai tahun 1938, tahun keberangkatan Mgr. de Backere CM ke Belanda untuk pulang selamanya, telah terdapat delapan calon, diantaranya adalah Romo Dibjakariono Pr, yang kelak akan menjadi Uskup Surabaya.[5]
Kerinduan Mgr. de Backere CM tersebut baru dapat terlaksana tahun 1948 (di Jalan Kepanjen 9, Surabaya), yang kemudian berpindah ke Jalan Dinoyo 42 (tahun 1950), dan akhirnya berlabuh di desa Garum (tahun 1959 hingga saat ini).
 
Perkembangan Selanjutnya

   Dari awal yang hanya delapan siswa, kini Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo di Garum memiliki siswa sekitar 100-an atau lebih. Pada tahun 1980, di saat rektornya ketika itu Romo Adam van Mensvoort CM, seminari Garum menutup bagian penerimaan "tingkat bawah" atau setara dengan SMP (calon siswa berasal dari lulusan SD). Pertimbangannya: para calon masih terlampau kecil. Sejak saat itu, di Seminari Garum yang ada hanyalah SMA dan kelas di atasnya yang disebut "Kelas IV".

   Tujuan Seminari adalah menyelenggarakan pembinaan bagi lulusan SMP/SMA/SMK, yang bersedia mengikuti panggilan khusus untuk terlibat dalam pelayanan rohani sebagai imam di wilayah Keuskupan Surabaya dan Gereja Katolik pada umumnya. Sebagai Prioritas, lulusan Seminari diarahkan untuk memenuhi kebutuhan imam-imam Praja Keuskupan Surabaya dan imam-imam Congregatio Missionis (CM), namun tidak menutup kemungkinan lulusan Seminari berkarya untuk Tarekat atau Keuskupan yang lainnya.
Mereka yang tidak melanjutkan studi di jalur imamat pada umumnya tampil sebagai para pemimpin di dalam masyarakat. Tidak sedikit para alumni Garum yang memiliki peran penting di masyarakat dan negara Indonesia, baik di bidang intelektual pendidikan maupun bisnis dan politik. Kebanyakan dari mereka tampil sebagai pemimpin dalam masyarakat dan menjadi tokoh Gereja Katolik setempat.

   Bagi masyarakat sekitar Blitar dan Garum, Seminari dikenal sebagai tempat bina anak-anak muda yang dinamis, yang kreatif dalam penguasaan bahasa asing, giat dalam bermain sepakbola, pandai bermain drama dan seni. Para seminaris dibina dalam persaudaraan dan persahabatan serta gigih untuk menatap ke depan. Di keuskupan Surabaya, Seminari Garum merupakan semacam "dapur" yang indah dan penting bagi pembinaan masa depan tenaga-tenaga pastoral mereka. Tetapi, seperti semangat dari para perintisnya, Seminari Garum memiliki dimensi misioner, yaitu pembinaan bagi para calon pewarta Injil yang siap diutus kemana saja Tuhan kehendaki dan Gereja butuhkan.

   Sampai hari ini, seminari itu tertata dan terawat dengan baik dalam sistem pembinaannya seiring dengan kemajuan dan perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Para pembinanya tetap merupakan kesaksian indah dari kerjasama dan persahabatan antara para imam diosesan Surabaya dan para imam CM (Kongregasi Misi) sebagai perintis seminari dan keuskupan Surabaya. Mereka bahu membahu bersama beberapa guru dan awam Katolik serta para Suster Puteri Kasih dalam suasana persahabatan untuk membina anak-anak muda, para seminaris, yang mendengarkan panggilan Tuhan. Suasana persaudaraan dan persahabatan di antara para pembina dan seminaris inilah yang menjadi pondasi kokoh keberlangsungan mutu pembinaan para calon imam di Seminari Garum.

   Nama pelindung, Santo Vincentius a Paulo, merupakan teladan sekaligus menjadi visi ke depan pembinaannya: bahwa para siswanya diantar kepada sikap dan tekad untuk mengabdi Tuhan dan mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin dan terlantar di mana saja, di keuskupan Surabaya, di aneka wilayah Indonesia, juga di wilayah-wilayah seluruh dunia.

   Para Romo yang pernah menjadi rektor Seminari Garum: Romo van Megen CM (ketika masih di Jalan Kepanjen 9 Surabaya), Romo van Driel CM (ketika di Jalan Dinoyo 42 Surabaya), Romo Verbong CM, Romo Karl Prent CM, Romo J. Haryanto CM, Romo Adam van Mensvoort CM, Romo Sjef van Mensvoort CM (pengganti sementara), Romo Hardjodirono CM (pejabat sementara), Romo Louis Pandu CM, Romo Haryo Pranoto Pr, Romo Agustinus Marsup CM, Romo Edi Laksito Pr, Romo Senti Fernandez Pr, Romo Cahyono Pr.

Final Fantasy VII: Advent Children Complete


Resensi
Dua tahun setelah kejadian Final Fantasy VII, penyakit yang disebut Geostigma menyebar di seluruh planet. Penyakit ini dipercaya disebabkan oleh material asing yang menyerang tubuh, akibat kejadian di Final Fantasy VII dua tahun lalu. Merasa bersalah dan dihantui masa lalunya, ex-SOLDIER Cloud Strife memilih hidup sendiri, jauh dari teman-temannya sambil bekerja di "Strife Delivery Service", yang bermarkas di lokasi bar Tifa Lockheart, Seven Heaven. Seven Heaven juga merawat anak-anak yang terkena Geostigma. Disini, Tifa tinggal bersama Marlene anak angkat Barret dan juga Denzel (salah satu anak yang terkena Geostigma), sedangkan Barret mencari energi alternatif untuk menggantikan energi Mako. Suatu hari, Cloud mendapat panggilan telepon dari Shira Company, presiden Shinra Company ingin agar Cloud melindunginya dari tiga pria misterius, salah satu diantaranya bernama Kadaj, mereka sedang mencari "Ibu", dan mereka percaya kalau Cloud mengetahui dimana mereka dapat menemukanya. Siapa sebenarnya ketiga orang tersebut? Apa yang dimaksud dengan "Ibu"? Apa ada hubunganya dengan kebangkitan Sephiroth?

Film ini sebenarnya adalah versi lengkap (complete) dari FFVII: Advent Children, karena ada beberapa tambahan adegan yang tidak ada di FFVII:AC dan juga kualitas grafisnya yang ditingkatkan. Jadi jangan lewatkan film ini.

By I-Prat Ngalam
Download Film ini:
http://www35.indowebster.com/84faae0d9d408d6fc8156cff52802270.mp4

Sumber yang tersisa

Oleh: Stefanus Septian Prasetyo

Kini kau amat Berharga dimataku
Setetespun orang akan mencarimu
Semenjak kejadian itu

Penampung limbah meledak
Sesaat kemudian, setelah aku datang
Mengisi emberku dengan air
di sumber yang tenang

Air disumber kini tlah tercemar
Dan tak kunjung jernih

Betapa terpukul hati orang
Sumber itu adalah kehidupan
Satu-satunya tempat
Bagi setiap insan menyambung hidup

Tak ada yang peduli
Aku tidak, engkaupun tidak
Kami sibuk, kami sibuk mencari
Mencari setetes air, air kebahagiaan