Tx

Minggu, 23 Oktober 2011

Merenung dan sedang memulai kiprah di Seminari St.Vincentius A Paulo

Oleh : Yohanes Budi Tri Novianto (Noven)

Seminari Garum, 16 september 2011
                  “Dok.. dok .. dok..’’ Itulah suara pintu yang gelisah. Aku masih kecil,dan aku masih    belum atu apa apa.Tiba-tiba kakak tertuaku masuk ke dalam rumah dengan wajah yang muram.Aku sempat tanya "kenapa ?", malah jawabnya ‘celuk’no mamak’., dan aku panggil saja ibuku.. (-,-‘). Setalah itu, aku mendengar dengan sengaja dan dengan penuh rasa penasaran perbincangan mereka. “Seminari’’. . “Seminari”.. “tidak ditrima?” .. apa maksudnya ya?? Aku di bingungkan dengan kata-kata itu, huh! Kalau tidak salah, dulu aku pernah melihat kakaku pernah pulang dengan mebawa tas yang penuh dengan pakaian, entah pulang dari mana, aku tidak tau. Dengan demikian aku sangat penasaran dengan ini. Apa sih sebenarnya “seminary” ?? kok kata itu keluar dari mulut kakaku dan membuatnya menjadi muram tak bergairah. Maklum lah, waktu itu aku masih kecil, kira-kira aku masih kelas 3 SD dan tidak tau apa-apa.
                       Aku adalah anak kecil yang nakal, sudah kelas 3 SD tapi masih di ambilkan makan dan di suapin juga, dan yang paling konyol lagi, aku masih di mandikan sa’at itu. Lalu naik ke kelas 4 SD, aku masih saja minta di mandikan, di suapi dsb. Heheheee.. dan yang paling parahnya, aku malas dengan pergi ke sekolah minggu ( perkumpulan BIAK) di stasiku.  Tapi, setelah naik kelas 4 SD aku sangat senang sekali, karena apa? Karena aku naik kelas. Ha, ya itu (gak lucu ya)hee. kelas 4 SD kenakalanku semakin parah, inilah puncak kenakalanku. Aku menganggap bahwa kalau sudah kelas 4 SD itu sudah dewasa, hingga aku telah bersikap bodoh. Dan, nih betapa sombongnya diriku. Kelas 4 SD adalah alasan untuk diriku bahwa aku harus gini, dan bertindak sesuai kemampuanku dan keinginanku. Nah, di kelas 4 ini, ada yang namanya penerima’an Sakramen Komuni Pertama. aku tidak tau apa itu Komuni Partama, ya pokoknya aku ikut ajah gitu pertemuanya’sebagai gengsi lah ( tapi waktu itu aku masih belum kenal dengan kata’’gengsi”) ha..ha..ha.
            Wah, dengan adanya pelatihan untuk menerima Sakramen Komuni Pertama ini, menyita waktu saya, saya tidak bisa bermain dengan teman-teman (jujur). Dan dengan di seringkan oleh pertemuan untuk pelatihan penerima’an komuni pertama ini, semakin lama aku semakin gimana gituh.. gimana yah??? Aku terasa makin dekat dengan Tuhan, karena di pertemuan tersebut, aku di ajarkan tentang berdoa, menghafal doa-doa yang ada di perayan Ekarisiti dan dsb. Tanpa mengira-ngira, semakin hari aku semakin aktif. Dan aku mulai berubah dikit-demi sedikit setelah itu, menjadi berbeda membuatku dikit menyadari panggilan. Karena Suster yang membimbingku waktu pelatihan Penerima’an Komuni Pertama, menceritakan sedikit cerita dengan di tambahkan unsur Romonya. Jadi tau deeeeeehhh.
            Tiba waktunya sa’at penerimaa’an Komuni Pertama , sa’at itu hatiku sangat berdebar-debar.Sebelum Penerima’an, entah kenapa aku menjadi senang mendengarkan kothbah, padahal dulu aku sangat malas sa’at mendengarka kothbah (bagi saya kothbah itu dulu adalah ocehan romo, hahaha….), kothbahnya pun sangat menarik perhatian, lucu, santai dan menyenangkan, serasa mendapat pencerahan hati dalam kesanta’ian. Hingga detik-detik sebelum penerima’an komuni pun berdentink…  Dan setelah Penerima’an komuni pertama sa’at yang sangat menggembirakaan adalah sa’at mencelupkan roti kedalam anggur, kaya ORE’O ajah…. Dan setalah itu, aku terkesan sombong dan berbicara keras pada teman yang di sampingku, dan bertanya-tanya dan sok tau aja.. haha
            Setelah berselang tidak lama, aku semakin aktif ke kegereja(walaupun masih rame) terus juga aktif dalam pertemuan BIAK. Nah, kembali pada kata “Seminary” yang di ucapkan kakakku tadi, ternyata…. Setalah aku bertanya-tanya dan melihat di papan pengumuman gereja dan SMP katolik depan gereja sa’at bermain, oooo seminari itu ternyata sekolah calon ROMO!!ehhhmm, tapi waktu itu aku masih belum paham. Ggggg.  Dan waktu sekolah minggu, sa’at itu kakak2 Pembina’’ BIAK di Setasiku bertanya-tanya tentang cita’’ kami para BIAK. Dan sa’at itu ada mbak yang bertanya gini “hayo!, siapa yang ingin menjadi romo???” tanpa pikir panjang dan secara sepontan aku menjawab “Aku mbak….. “hahaha, aneh sekali.. kok bisa yaaaaa? Gyhfhf9ioewhkdsiokfncd9ioehw@#$^^&**((
            Akhirnya,aku sekarang telah kelas 6 SD. Saat-saat yang sulit dalam menghadapi UNAS. Dan aku sudah merencanakan mau masuk Smpk Katolik. Lhaaa, sa’at sudah lulus dan pertama masuk Smp katolik, aku di bina secara rohani di sana(sedikit). Senang sekali rasanya.. Kelas satu, waktu itu sebelum masuk semester kan di tanyai cita”nya apa, lha itu.. panggilanku muncul untuk jujur bahwa cita”ku apa, aku mau mengatakan mau jadi romo tapi aku malu mengatakanya. Gak tau kenapa, huh.. Aku masuk anggota PAPS waktu kelas satu dulu, aku aktif dalam pelayanan sebagai misdinar juga.Telah banyak rekoleksi pada waktu itu aku ikuti, salah satunya rekoleksi di blitar dulu, senang sekali rasanya karena aku bisa bertemu para romo. Terus setelah itu, aku beranjak  kelas 3 smp. Nah, ada dua moment yang menguatkan panggilanku, pertama sa’at rekoleksi PAPS di paroki Gembala yang baik, Malang. Di sana saya berani mengemukakan sa’at Romo disana bertanya siapa yang terpanggil, dan saya menjawab “setalah lulus dari kelas 3 smp nanti, mau ke Seminary, ingin jadi imam”! Saya bangga dengan ucapan yang saya lontarkan tadi! Setelah itu ada satu rekoleksi yang membuat saya semakin terpanggil, masih sama, yaitu rekoleksi PAPS di wisma St. Yohanes Kediri. Dalam perjalan pertama ke sana, saya tampil dengan penampilan yang sangat formal, beda dengan teman-teman saya, yang memakai pakaian zaman sekarang (gaulah istilahnya) . saya sombong banget karena beda sendiri.hehhe. Lalu setelah tiba di sana, dan berselang beberapa season, akirnya pada season 3, yaitu season menjawab pertanyaan dari Romo Yose (sa’at masih jadi Fr diakon) pertanyaan adalah “kamu mau jadi apa setelah ini?” pokoknya gituh deh pertanya’anya, seingatku juga gitu, soalnya aku lupa. Lalu aku menjawab pertanya’an tadi dengan jawaban batinku! Yaitu “Aku ingin menjadi pria sejati”,, Lalu Rm. Yose bingung, maksudnya jadi pria sejati itu apa>>?? Lalu aku jelaskan,” Maksudnya gini Ter!”-“Saya ingin menjadi Pria Sejati dalam arti saya ingin menjadi Imam kelak!! Rm. Yose pertama meragukan jawaban saya, tapi lama-lam setelah Ia mendengarkan penjelasan dari saya, akirnya dia mengerti.
            Selain pengalaman itu, panggilanku juga di kuatkan dan di bentuk kembali sa’at aku mendengarkan suatu kothbah dari seorang Romo. Romo yaitu adalah Rm. Prast, yah Romo dari parokiku. Kothbahnya kalau gak salah tentang penyekolahan putra-putri umat agar di sekolahkan ke smp\sma Katolik dan akirnya mengarah (menyelenteng) pada seminari dan panggilan, dan sekaligus berbibacara bila menjadi seorang ROMO. Saya terkesan sa’at Rm Prast mengatakan bahwa “menjadi Imam berarti, menjadi Pelayan” gitu, sebenernya panjang yang Rm. Prast katakan, tapi hanya kata-kata ini yang membekas di dalam ingatanku dan sekaligus  menjadi tonggak penguat panggilanku. Sebentar setelah itu aku merenung, dan tetap, aku ingin menjadi IMAM!
            Ya, itu tadi adalah pengalaman panggilanku, yang sangat ribet. Eitzz, tapi ada satu hal yang membuat aku ini menjadi semakin kuat, kuat akan panggilan yang sudah aku pelihara ini,karena seruas motivasi yang sangat berarti dan sangat berharga. Yaitu adalah…. dan ternyata, seperti ceritaku tadi yang belum terjawab bahwa kakakku pernah masuk seminari. Aku sangat terkejut,stelah mendengar cerita ibuku tentang Kakakku. Kakakku Ternyata pernah mendaftar di Seminari lo (pantesan, kok “seminari” “seminari”), tapi setelah mendengar cukup lama ibu bercerita, ibuku menceritakan bahwa kakakku tidak di trima masuk Seminari, padahal bapakku sangat mengharapkan bahwa kakaku bisa menjadi Imam. Dan setelah itu, bapakkku menyuruh kakakku ke dua untuk masuk seminary, tapi ia tidak mau masuk, dan perasa’an bapak sangat sedih sekali kelihatanya. Nah, inilah yang sangat berhaga bagi saya dan ketika bapakku bilang kepadaku bahwa aku harus menjadi Imam, dan menggantikan harapan bapakku kepada kakak-kakakku. Dan aku berjanji, bahwa’’AKU TIDAK AKAN MENGECEWAKAN BAPAKKU”.Itulah segelumir janjiku padanya. Dari harapan bapakku lah motivasiku terbentuk.
            Yah, akirnya aku masuk seminari juga. Setelah berselang beberapa lama di seminari St. Vincent A Paulo, panggilanku sempat luntur. Tapi, dengan adanya acara-acara yang sangat kental dengan penumbuhan Panggilan, aku tidak ragu lagi untuk meneruskan jenjang kedepanya menjadi se’orang Imam! Aku senang sekolah disini, jujur pertama masuk di seminari St. Vincent A Paulo ini, aku sempat menyimpan rasa kangenku pada keluarga. Aku sempat menangis, dan sempat tidak kerasan. Tapi mau gimana lagi, itulah syarat kalau ingin menjadi se’orang imam, harus berani meninggalkan orang tua dan mengorbankan hal yang di anggap penting.