Tx

Selasa, 25 Oktober 2011

Musikalisasi Puisi: Apa dan Bagaimana

Tengsoe Tjahjono

       Beberapa kali saya mengikuti kegiatan musikalisasi puisi, entah menjadi penonton/ penikmat, entah menjadi juri. Beberapa kali saya mengamati, banyak di antara para penyaji terjebak pada kegiatan teatrikalisasi/dramatisasi puisi. Hakikat musikalisasi adalah musik, berarti kesan auditif yang harus digarap, bukan justru terjebak pada penggarapan gerak, blocking, busana, dan sebagainya. Hal-hal yang berkaitan dengan gerak, blocking, busana, dan sebagainya itu hanyalah unsur penunjang, bukan unsur utama.
       
       Apakah musikalisasi itu? Ternyata batasan mengenai musikalisasi puisi melahirkan perdebatan panjang. Ada banyak perbedaan pendapat tentang musikalisasi puisi. Perbedaan itu misalnya saja: 
(a) bahwa dalam musikalisasi puisi tidak boleh ada aktivitas membaca puisi; jika ada pembacaan puisi di dalamnya, kegiatan tersebut bukanlah musikalisasi puisi, 
b) bahwa dalam musikalisasi puisi boleh saja terdapat kegiatan pembacaan puisi, sebab tidak semua baris atau frase dalam puisi bisa dimusikalisasikan, 
(c) bahwa membaca puisi dengan iringan alat musik bukanlah musikalisasi puisi, dan 
(d) bahwa membaca puisi dengan alat musik juga merupakan kegiatan musikalisasi puisi.
 
Bagaimana sesungguhnya musikalisasi puisi itu?
HAKIKAT MUSIKALISASI PUISI
 
       Ada dua hal esensial yang mesti kita cermati saat kita hendak mendefenisikan musikalisasi puisi, yaitu: 
(1) hakikat performansi puisi adalah pembacaan, dan 
(2) musik tidak sejajar dengan lagu.

Performansi Puisi adalah Pembacaan
     Setiap kali seorang penyair menulis puisi, yang ia bayangkan adalah bagaimana kelak jika puisi itu dibacakan, bukan untuk dinyanyikan. Oleh karena itu musikalisasi puisi pun harus berangkat dari ikhwal pembacaan ini.

     Pembacaan puisi itu sesungguhnya sudah sangat mengandung unsur musik karena puisi dicipta dengan memperhatikan faktor irama. Namun apa salahnya jika pembacaan puisi itu dipadukan dengan unsur nada dan melodi. Pembacaan puisi yang dipadukan dengan unsur tersebut dapat memperkuat suasana dan karakter puisi, memperjelas makna dan ikut membantu memperjelas amanat puisi tersebut. Untuk memperkuat puisi tidak harus pembaca puisi memaksakan bangunan utuh puisi tersebut menjadi lagu. Apalagi jika upaya tersebut justru dapat merusak dan menghancurkan totalitas puisi itu.
     
     Adakalanya intonasi, modulasi dan jeda dalam pembacaan puisi justru akan hancur manakala dilagukan. Intonasi, modulasi dan jeda itu hanya menemukan kekuatannya saat dibacakan. Dalam satu bait puisi boleh jadi seorang pembaca puisi akan secara berganti-ganti memakai tekanan dinamik, tempo, dan nada secara bergantian. Jika hal itu diubah ke dalam melodi, justru akan terasa monoton. Suasana kontemplatif, sugestif, dan afektif justru terkendala dengan birama misalnya saat dilagukan. Sedangkan tempo pada lagu terdapat pada satu konstruksi bait, yang ditentukan oleh kecepatan ketukan nada dalam tiap-tiap notasi. Bahkan pada keseluruhan lagu tersebut tempo sudah ditentukan lebih dahulu, misalnya dengan forte, piano forte, allegro, adagia dan sebagainya. 

     Irama pada lagu umumnya bersifat permanen dan telah ditentukan sebelumnya oleh pencipta lagu tersebut. Sedangkan irama, modulasi, dan jeda pada puisi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu suasana konkret puisi dan ditentukan oleh interpretasi masing-masing pembaca.

     Irama, modulasi, dan jeda adalah bagian dari kegiatan pembacaan puisi yang sulit untuk dilagukan. Jika pun dipaksa untuk dilagukan akan terjadi disharmoni irama lagu itu sendiri. Oleh karena itu, dalam kegiatan musikalisasi puisi, jika terdapat bait dan bagian-bagiannya yang memiliki karakter kuat untuk dibacakan, disarankan untuk tetap dibacakan, tidak perlu dilagukan. Untuk membangun kesan kuat cukup diberi dentingan piano, gesekan bola, atau sebagainya, pada bagian tersebut. Belum lagi jika kita harus memperhatikan enjambemen dan tipografi dalam puisi. 

     Enjambemen adalah pemenggalan baris dan hubungan antara baris. Pemenggalan baris ini pun memiliki makna tersendiri bagi penyair. Pembaca puisi adalah duta penyair untuk menyampaikan pesan kepada pendengar. Jika saat melagukan puisi persoalan enjambemen dirusak hanya untuk kepentingan melodi, tentu akan mengganggu pesan tersebut. 

    Dalam penulisan puisi, penyair selalu memperhatikan bentuk visual puisi, entah itu pemakaian huruf kapital atau huruf kecil, tanda baca, dan grafis penataan huruf-hurufnya. Segala hal yang menyangkut tipografi itu juga mengandung makna tertentu. Hal tersebut sulit untuk diwujudkan ke dalam partitur lagu.

    Pada dasarnya musikalisasi puisi jangan sampai merusak kodrat puisi. Puisi adalah puisi, dengan segala kekhasan yang dipunyainya. Musikalisasi puisi harus tetap mendudukkan puisi sebagai teks sastra, bukan hanya menjadi sebuah lirik lagu. Puisi pada hakikatnya ditulis sebagai teks sastra bukan sebagai teks lagu. 

    Banyak puisi yang memiliki kemungkinan kecil untuk dapat dilagukan. Artinya tidak semua puisi dapat dilagukan. Bahkan, boleh jadi dalam sebuah puisi, hanya beberapa bait saja yang dapat ditampilkan ke dalam tataan lagu.

Musik Tidak Sejajar dengan Lagu

     Terdapat pandangan salah kaprah mengenai musik. Kita sering menyamakan antara musik dan lagu. Musik antara lain dimaknai sebagai nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama yang harmoni. Merujuk pada pengertian tersebut jelas sekali dalam setiap puisi sudah mengandung unsur musik.
Sedangkan lagu (dari bahasa Arab; al laghwu) dimaksudkan sebagai teks yang dengan sengaja dan sadar dinotasikan dengan nada-nada tertentu dan dibentuk oleh melodi. 
      Dalam lagu memang terdapat unsur musik. Tetapi musik bukanlah lagu. Tanpa lagu pun sebuah konstruksi musik tetap dapat terbangun. Musik ada yang bernotasi, ada pula yang tidak bernotasi. Suara gemercik air hujan, debur angin, tiupan angin menyentuh dauh-daun, dan sebagainya merupakan contoh musik tanpa notasi. Kentongan yang ditabuh berkali-kali, lonceng gereja, bunyi bedug di masjid, dan sebagainya juga merupakan musik yang tanpa notasi.

      Dengan demikian musikalisasi puisi sebenarnya tidak berarti melagukan puisi. Musikalisasi puisi sejatinya upaya menguatkan potensi musik yang sudah ada dalam puisi itu, dengan menambahkan unsur musik yang lain, misalnya tangga nada, melodi, dan birama. Dengan catatan jika bait-bait tertentu memang sangat kuat ketika dibacakan, jangan dipaksa untuk dilagukan. 


LANGKAH-LANGKAH MUSIKALISASI PUISI

  1. Memilih Puisi
      Sudah disebutkan di atas bahwa tidak semua puisi dapat dimusikalisasikan. Puisi yang dapat dibacakan pada umumnya memiliki konstruksi bait yang relatif sama antara bait pertama, kedua, dan seterusnya. Di samping itu bagus sekali jika puisi yang dipilih adalah puisi yang memiliki pola persajakan yang relatif konsisten. Puisi-puisi lirik memang akan lebih bagus jika dimusikalisasikan.
 
Perhatikan contoh puisi berikut ini...

RUMAH SAKIT SIMPANG

Mendekatlah. Adakah yang masih tersisa
bila semuanya telah diruntuhkan
kenangan pun suatu saat akan musnah
dan kehidupan akan pucat tanpa masa silam
Tak ada yang kekal memang. Tak ada
Yang tiba dan yang pergi silih berganti
hari demi hari memanjang menjadi kenyataan
kehidupan memberikan sukaduka dan bahagia
Biarlah yang lampau tenggelam
catatlah apa saja yang kau perlukan
biarlah matahari tenggelam
menghapus lelah dan menyajikan impian
Kehidupan ialah estafet panjang
Kau harus menerima dan kemudian memberikan
Mendekatlah. Adakah yang masih tersisa
bila semuanya telah diruntuhkan
Tataplah. Wajah tua renta dan tak terawat
kini rata dengan tanah. Siapa pernah
terbaring di sana. Nanti ada
seorang anak membuka buku sejarah dan bertanya
Betapa asing kehidupan bila kenangan
telah kehilangan makna. Ia bukakan kelopak
semangat yang mendatang. Tapi pada malam dingin begini
siapa yang akan bicara. Siapa?
(Rudi Isbandi)

       Jika kita perhatikan sepintas puisi karya Rudi Isbandi di atas jumlah baris dalam setiap bait relatif sama, yaitu 4 baris. Pola persajakannya pun relatif sama yaitu a-a-a-a. Mengggarap musikalisasi di atas akan relatif lebih mudah.
Puisi di atas bersifat liris, sebuah ungkapan perasaan terhadap suatu hal. Sifat liris itu memiliki peluang besar untuk ditata ke dalam partitur, melodi, atau birama tertentu.


      2. Menyusun Partitur Musikalisasi Puisi

        Partitur musik adalah teks lagu yang berisikan puisi-puisi yang diaransemen ke dalam bentuk lembaran musik yang berupa melodi, irama/ritme, dan harmoni.
Sebelum menyusun partitur secara lengkap dan utuh, sebaiknya kita membaca puisi yang akan dimusikalisasikan secara cermat. Kita pilih bait-bait mana yang memiliki peluang untuk dinyanyikan dan bait-bait mana yang justru kuat ketika dibacakan.

        Bait terakhir puisi Rumah Sakit Simpang karya Rudi Isbandi di atas akan lebih baik dan kuat jika dibacakan, bukan dinyanyikan, sebab dalam bait tersebut terbaca jelas simpulan dan pesan puisi. Dalam bagian ini pembaca puisi akan lebih leluasa memberikan tekanan pada bagian-bagian baris yang dianggap mengandung pesan dan suasana kuat. Sedangkan bait-bait lain boleh atau berpeluang untuk dinyanyikan.
 
       Agar kita dapat menyusun partitur musikalisasi puisi secara tepat kita perlu menguasai unsur-unsur musik secara umum. Unsur-unsur musik yang dimaksud adalah : nada (suara dengan getaran tertentu), melodi (susunan nada dengan interval tetentu – kalimat lagu), irama(lembut, keras, agung, dan sebagainya – tempo/birama), harmoni (keselarasan dan kepaduan seluruh unsur pembangun musikalisasi), serta unsur pendukung lain seperti ekspresi (pelan.lembut, penuh semangat, dan sebagainya), dinamika (keras-lembut), serta bentuk lagu. 

      3. Menampilkan Musikalisasi Puisi
 
       Keberhasilan musikalisasi puisi terletak pada bagaimana unsur-unsur musik dalam puisi dapat disajikan secara maksimal. Artinya, musikalisasi puisi merupakan seni auditif, bukan seni visual. Keindahannya terletak pada kemampuan bunyi membangun imaji auditif dan estetik dalam diri pendengarnya.
 
      Maka, penampilan musikalisasi puisi tidak harus terjebak pada dramatisasi/teatrikalisasi puisi, yang lebih menonjolkan gerak daripada bunyi. Gerak boleh saja ditampilkan asal memberikan kontribusi terhadap lahirnya/ terciptanya bunyi musik dalam musikalisasi puisi. Gerak boleh saja ditampilkan musikalisasi puisi asal jangan sampai mengurangi fungsi bunyi demi musikalisasi puisi tersebut.

Sumber: http://www.dikbangkes-jatim.com/?p=1141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar anda untuk membantu saya bila ada kesalahan dalam penulisan blog ini!